Rabu, 15 Februari 2012

Ujian Cinta Anak Kos-Kosan


Pagi itu, hujan turun begitu derasnya. Sinar mentari yang biasanya menemaniku merapihkan kamarku, seakan bersembunyi, tak berani untuk menunjukkan cerah parasnya. Gemuruh suara petir membuatku malas untuk pergi ke kampus, walaupun jaraknya tak lebih dari 100 meter dari kosanku. Namun, aku teringat jerit payah orangtuaku yang membiayaiku. Aku tidak mau mengecewakan mereka. Perasaan itulah yang mengubur dalam-dalam rasa malasku.

Setibanya di kampus, aku langsung menuju ruang kuliahku. Tak ada pemandangan yang berbeda diantara teman-temanku. Semua sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku mulai mengamati siapa saja yang sudah hadir dan siapa yang belum hadir. Aku mulai menghitung anak laki-laki yang ada dikelasku, karena bisa dihitung dengan jari. Di kelasku ada 9 anak laki-laki, dan 18 anak perempuan. Ternyata setelah dihitung, jumlah anak laki-laki ada 10 orang. “Apa ?? 10 Orang ??” Gumamku dalam hati sambil memasang mimik orang bingung.  “Mungkin aku salah hitung.” Aku mengulang kembali hitunganku. Ternyata memang benar ada 10 orang. Lalu siapa satu orang asing tersebut ?? “Hei pa kau tahu siapa laki-laki asing itu ?” aku berbisik ditelinga temanku yang berada disampingku. “oohhh…anak yang duduk di bangku paling kanan belakng itu? Dia mahasiswa pindahan dari Fakultas Sastra”. Aku mulai mengamati anak tersebut. “Sepertinya dia mirip seseorang yang kukenal”. Ceracauku dalam hati. Tapi masa iya dia itu mirip…..

Setelah aku mengamatinya dari samping kiri, kanan, depan, dan belakang, ternyata memang benar. Dia sangat mirip dengan lelaki yang sangat aku sayangi, yang hamper 1 bulan tidak bertemu. Tanpa berlama-lama, aku pun mendekatinya dan mengajak ngobrol dirinya. Namanya, Andri. Dia pindah dari Fakultas Sastra karena tidak sesuai dengan keinginannya. Dia di paksa oleh orangtuanya untuk masuk fakultas tersebut. Padahal, ia ingin bergelut di bidang kesehatan.

Akupun mengobrol cukup lama dengannya. Kulihat dari bahasanya, gaya bicaranya, dan sikapnya, memang hamper serupa dengan kekasihku yang juga sedang berkuliah di Bogor.  Setelah cukup lama mengobrol, perkuliahan pun dimulai.

Setelah perkuiahan selesai, aku kembali pulang ke kosanku. Tak sampai 10 menit, aku pun tiba di kosanku. Siang berganti sore, dan malam pun menyambut seiring tenggelamnya matahari. Aku menikmati suasana malam yang cerah, karena kosnku berada di lantai dua. Aku duduk di balkon tepat di depan pintu kamarku. Semburan angin malam terasa menusuk sampai ke tulangku. Segelas kopi susu panas menemaniku untuk mengahangatkan diri. Seketika itu, aku teringat dengan kehadiran mahasiswa baru di kelasku itu. Pribadinya mengingatkanku pada lelaki yang sangat kurindukan karena hampir satu bulan tidak bertemu karena kuliahnya masing-masing. “Apa yang sedang ia lakukan ? Bagaimana kabarnya ? Apakah ia juga merasakan hal yang sama denganku ?” Aku langsung mengambil handphone yang berada di sebelah kopi susu panas.

Dengn sangat lincah jari-jariku menari menekan tombol-tombol untuk mengirim pesan singkat. Satu menit berselang, ponselku pun berdering, menandakan ada pesan yang masuk. Ia pun membalas pesanku. Sungguh terlenanya aku bahwa ia pun sangat merindukan diriku. Sementara aku terlena, ponselku pun berdering kembali. Semakin tenggelamnya aku dalam lautan cinta yang bergelora ketika kubuka pesan yang mauk ternyata kekasihku mengirmkan sebuah puisi yang membuat hatiku melemah.

Malan semaki larut. Kopi susu yang tadinya panas, menjadi dingin terbawa oleh suasana malam. Aku dan kekasihku saling mengungkapkn rasa sayang dan rasa rindu yang amat sangat walaupun hanya melalui pesan singkat. Tapi itu cukup untuk menenangkan hatiku yang “galau” karena selalu memikirkannya. Aku berencan mengajaknya untuk bertemu minggu depan. Namun satu per satu cobaan mulai muncul.

Tiga hari sebelum rencana pertemuan itu, aku mendapatkan tugas kuliah yang amat banyak. “Wah kalau begini ceritanya, bisa gagal rencana yang sudah kususun matang-matang. Mengapa harus ada yang namanya “TUGAS”. Aku sudah pusing bergelut dengan tugas. SD, SMP, SMA, bahkan kuliah pun aku masih harus beergelut dengan tugas”. Apa boleh buat, tugas memang merupakan salah satu aspek penilian dalam perkuliahan. Dengan susah payah, akhirnya selesai sudah semua tugas yang menumpuk hany dalam satu hari. Itu semua demi bertemu dengannya.

Di hari berikutnya, semu berjalan dengan lancar, tidak ada lagi “TUGAS” yang harus kukerjakan, sampai setelah perkuliahan selesai, tiba-tiba salah seorang temanku menghampiriku. Betapa terketuk pintu hatiku. Ternyata, di membutuhkan biaya untuk membeli obat karena ibunya sedang sakit keras. Ia pun bermaksud meminjam tabunganku. Sebenarnya, uang yang ada ditabunganku tinggaln sedikit, karena sudah dipakai untuk kperluan kuliah dan keperluan sehari-hari. Dan sisanya, ku simpan untuk nanti jalan dengan kekasihku. Tapi, aku sangat iba dan tidak tega melihat temanku menderita. Akhirnya, kupinjamkan semua uang yang ada di tabunganku. Aku hanya bisa pasrah. “Mudah-mudahan apa yang kupinjamkan ini bisa membantu kesembuhan ibumu walupun hanya sedikit.” Celotehku menghibur temanku.

Dalam sujud, aku berdoa “Ya Allah, jika memang apa yang sudah kurencanakan harus terjadi, maka mudahkanlah jalanku. Apabila memang belum saatnya aku bertemu dengan kekasihku, maka berilah aku kesabaran.” Aku sangat berharap bisa bertemu kekasihku yang sudah lama kunantikan kehadirannya. Namun ujian yang di berikan Allah membuatku harus lebih bersabar.

Satu hari sebelum pertemuan itu, aku kembali dihadapkan dengan ujian lainnya. Kali ini tidak seperti yang sebelumnya. Bak petir menyambar di siang bolong, hatiku sangat terpukul menerima kabar bahwa orang yang selama ini kunanti kehadirannya, terkena musibah. Kecelakaan motor yang menimpanya, membuyarkan semua bayang-bayang indah saat bertemu dengannya. Motor yang dikendarainya ringsek setelah menabrak pembatas jalan. Terpaksa ia membatalkan rencana untuk bertemu denganku. Sangat sedih hatiku mendengan kabar naas darinya. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah peribahasa yang tepat untukku saat ini. Ingin ku melihat keadaanya saat itu juga. Namun malam sudah sangat larut dan tak ada satu pun kendaraan yang bisa mengantarku kepadanya. Membuncahlah rasa rinduku saat itu juga. Dalam lingan air mata, aku menyebut nama-Mu. ”Ya Allah, mengapa kau berikan aku cobaan yang sangat berat ini ?? Jika memang belum saatnya aku bertemu denganya, biarlah. Tapi jangan Engkau berikan musibah kepadanya, aku tak sanggup menerima cobaan-Mu. Engkau adalah dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Berilah hamba jalan keluarnya ya Allah. Berilah aku kesabaran. Hanya kepadamu aku memohon.”

Aku hanyalah makhluk yang tak berdaya. Aku hanya bisa pasrah dan selalu berdoa untuk bisa bertemu dengannya. Namun di balik semua cobaannya, Allha selalu member jalan keluar yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Tibalah hari itu. Hari yang kurencanakan untuk bertemu dengan kekasihku. Berkali-kali kuhubunginya, namun tak pernah ada jawaban. Terkahir kuhubungi, ponselnya tidak aktif. Khawatir, resah, dan gelisah, menyelimuti perasaanku. “Oh Tuhan, cobaan apalagi yang akan Engku berikan padaku ??”

Di tengah kegelisahanku, ternyata pintu kamarku berbunyi. Tok…tok..tok. Dengan sehelai tisu, kuusap air mata yang sedikit menetes. “Iya sebentar” jawabku. Dengan segera, kubuka pintu itu. Kulihat seorang lelaki dengan celana jeans model “pensil”, dengan kemeja kotak-kotak, lengkap dengan sepatu kets, seraya membawa bunga mawar merah di tangan kanannya. Kutatap dalam-dalam lelaki tersebut. Berlinanglah air mataku. Semakin deras membasahi wajhku. “Oh Tuhan, inikah jawaban atas cobaan-Mu ? Engkau memang dzat Yang Maha Sempurna.” Pujaku dalam hati.

Ya, lelaki itu adalah kekasihku yang sangat kurindukan. Aku pun terheran-heran mengapa dia ada dihadapanku, padahal semalam dia mengabarkan bahwa dirinya kecelakaan. Ternyata, semua yang dikatakannya tidak benar-benar terjadi. Itu semua adalah sebagian kejutan darinya agar membuatku semakin perhatian dan semakin merindukannya. Begitu pun dengan sengaja datang ke kosanku, tanpa sepengetahuanku. Segera kucurahkan semua rasa rinduku yang sangat dalam. Ia pun berlutut seraya memberikan bunga mawar yang di pegangnya. Sungguh tiada terkira rasa cintaku kepadanya saat itu. Tak sedetikpun kulewatkan tanpa dirinya. Mencairlah sudah semua perasaan yang menghantui hatiku selama ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar