Pagi
itu, hujan turun begitu derasnya. Sinar mentari yang biasanya menemaniku
merapihkan kamarku, seakan bersembunyi, tak berani untuk menunjukkan cerah
parasnya. Gemuruh suara petir membuatku malas untuk pergi ke kampus, walaupun
jaraknya tak lebih dari 100 meter dari kosanku. Namun, aku teringat jerit payah
orangtuaku yang membiayaiku. Aku tidak mau mengecewakan mereka. Perasaan itulah
yang mengubur dalam-dalam rasa malasku.
Setibanya
di kampus, aku langsung menuju ruang kuliahku. Tak ada pemandangan yang berbeda
diantara teman-temanku. Semua sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku mulai
mengamati siapa saja yang sudah hadir dan siapa yang belum hadir. Aku mulai menghitung
anak laki-laki yang ada dikelasku, karena bisa dihitung dengan jari. Di kelasku
ada 9 anak laki-laki, dan 18 anak perempuan. Ternyata setelah dihitung, jumlah
anak laki-laki ada 10 orang. “Apa ?? 10 Orang ??” Gumamku dalam hati sambil
memasang mimik orang bingung. “Mungkin
aku salah hitung.” Aku mengulang kembali hitunganku. Ternyata memang benar ada
10 orang. Lalu siapa satu orang asing tersebut ?? “Hei pa kau tahu siapa
laki-laki asing itu ?” aku berbisik ditelinga temanku yang berada disampingku.
“oohhh…anak yang duduk di bangku paling kanan belakng itu? Dia mahasiswa
pindahan dari Fakultas Sastra”. Aku mulai mengamati anak tersebut. “Sepertinya
dia mirip seseorang yang kukenal”. Ceracauku dalam hati. Tapi masa iya dia itu
mirip…..
Setelah
aku mengamatinya dari samping kiri, kanan, depan, dan belakang, ternyata memang
benar. Dia sangat mirip dengan lelaki yang sangat aku sayangi, yang hamper 1
bulan tidak bertemu. Tanpa berlama-lama, aku pun mendekatinya dan mengajak
ngobrol dirinya. Namanya, Andri. Dia pindah dari Fakultas Sastra karena tidak
sesuai dengan keinginannya. Dia di paksa oleh orangtuanya untuk masuk fakultas
tersebut. Padahal, ia ingin bergelut di bidang kesehatan.
Akupun
mengobrol cukup lama dengannya. Kulihat dari bahasanya, gaya bicaranya, dan
sikapnya, memang hamper serupa dengan kekasihku yang juga sedang berkuliah di
Bogor. Setelah cukup lama mengobrol,
perkuliahan pun dimulai.
Setelah
perkuiahan selesai, aku kembali pulang ke kosanku. Tak sampai 10 menit, aku pun
tiba di kosanku. Siang berganti sore, dan malam pun menyambut seiring
tenggelamnya matahari. Aku menikmati suasana malam yang cerah, karena kosnku
berada di lantai dua. Aku duduk di balkon tepat di depan pintu kamarku.
Semburan angin malam terasa menusuk sampai ke tulangku. Segelas kopi susu panas
menemaniku untuk mengahangatkan diri. Seketika itu, aku teringat dengan
kehadiran mahasiswa baru di kelasku itu. Pribadinya mengingatkanku pada lelaki
yang sangat kurindukan karena hampir satu bulan tidak bertemu karena kuliahnya
masing-masing. “Apa yang sedang ia lakukan ? Bagaimana kabarnya ? Apakah ia
juga merasakan hal yang sama denganku ?” Aku langsung mengambil handphone yang berada di sebelah kopi
susu panas.
Dengn
sangat lincah jari-jariku menari menekan tombol-tombol untuk mengirim pesan
singkat. Satu menit berselang, ponselku pun berdering, menandakan ada pesan
yang masuk. Ia pun membalas pesanku. Sungguh terlenanya aku bahwa ia pun sangat
merindukan diriku. Sementara aku terlena, ponselku pun berdering kembali. Semakin
tenggelamnya aku dalam lautan cinta yang bergelora ketika kubuka pesan yang
mauk ternyata kekasihku mengirmkan sebuah puisi yang membuat hatiku melemah.
Malan
semaki larut. Kopi susu yang tadinya panas, menjadi dingin terbawa oleh suasana
malam. Aku dan kekasihku saling mengungkapkn rasa sayang dan rasa rindu yang
amat sangat walaupun hanya melalui pesan singkat. Tapi itu cukup untuk
menenangkan hatiku yang “galau” karena selalu memikirkannya. Aku berencan
mengajaknya untuk bertemu minggu depan. Namun satu per satu cobaan mulai
muncul.
Tiga
hari sebelum rencana pertemuan itu, aku mendapatkan tugas kuliah yang amat
banyak. “Wah kalau begini ceritanya, bisa gagal rencana yang sudah kususun
matang-matang. Mengapa harus ada yang namanya “TUGAS”. Aku sudah pusing
bergelut dengan tugas. SD, SMP, SMA, bahkan kuliah pun aku masih harus
beergelut dengan tugas”. Apa boleh buat, tugas memang merupakan salah satu
aspek penilian dalam perkuliahan. Dengan susah payah, akhirnya selesai sudah
semua tugas yang menumpuk hany dalam satu hari. Itu semua demi bertemu
dengannya.
Di
hari berikutnya, semu berjalan dengan lancar, tidak ada lagi “TUGAS” yang harus
kukerjakan, sampai setelah perkuliahan selesai, tiba-tiba salah seorang temanku
menghampiriku. Betapa terketuk pintu hatiku. Ternyata, di membutuhkan biaya
untuk membeli obat karena ibunya sedang sakit keras. Ia pun bermaksud meminjam
tabunganku. Sebenarnya, uang yang ada ditabunganku tinggaln sedikit, karena
sudah dipakai untuk kperluan kuliah dan keperluan sehari-hari. Dan sisanya, ku
simpan untuk nanti jalan dengan kekasihku. Tapi, aku sangat iba dan tidak tega
melihat temanku menderita. Akhirnya, kupinjamkan semua uang yang ada di
tabunganku. Aku hanya bisa pasrah. “Mudah-mudahan apa yang kupinjamkan ini bisa
membantu kesembuhan ibumu walupun hanya sedikit.” Celotehku menghibur temanku.
Dalam
sujud, aku berdoa “Ya Allah, jika memang apa yang sudah kurencanakan harus
terjadi, maka mudahkanlah jalanku. Apabila memang belum saatnya aku bertemu
dengan kekasihku, maka berilah aku kesabaran.” Aku sangat berharap bisa bertemu
kekasihku yang sudah lama kunantikan kehadirannya. Namun ujian yang di berikan
Allah membuatku harus lebih bersabar.
Satu
hari sebelum pertemuan itu, aku kembali dihadapkan dengan ujian lainnya. Kali
ini tidak seperti yang sebelumnya. Bak petir menyambar di siang bolong, hatiku
sangat terpukul menerima kabar bahwa orang yang selama ini kunanti
kehadirannya, terkena musibah. Kecelakaan motor yang menimpanya, membuyarkan
semua bayang-bayang indah saat bertemu dengannya. Motor yang dikendarainya
ringsek setelah menabrak pembatas jalan. Terpaksa ia membatalkan rencana untuk
bertemu denganku. Sangat sedih hatiku mendengan kabar naas darinya. Sudah
jatuh, tertimpa tangga. Itulah peribahasa yang tepat untukku saat ini. Ingin ku
melihat keadaanya saat itu juga. Namun malam sudah sangat larut dan tak ada
satu pun kendaraan yang bisa mengantarku kepadanya. Membuncahlah rasa rinduku
saat itu juga. Dalam lingan air mata, aku menyebut nama-Mu. ”Ya Allah, mengapa
kau berikan aku cobaan yang sangat berat ini ?? Jika memang belum saatnya aku
bertemu denganya, biarlah. Tapi jangan Engkau berikan musibah kepadanya, aku
tak sanggup menerima cobaan-Mu. Engkau adalah dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang. Berilah hamba jalan keluarnya ya Allah. Berilah aku kesabaran. Hanya
kepadamu aku memohon.”
Aku
hanyalah makhluk yang tak berdaya. Aku hanya bisa pasrah dan selalu berdoa
untuk bisa bertemu dengannya. Namun di balik semua cobaannya, Allha selalu
member jalan keluar yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Tibalah
hari itu. Hari yang kurencanakan untuk bertemu dengan kekasihku. Berkali-kali
kuhubunginya, namun tak pernah ada jawaban. Terkahir kuhubungi, ponselnya tidak
aktif. Khawatir, resah, dan gelisah, menyelimuti perasaanku. “Oh Tuhan, cobaan
apalagi yang akan Engku berikan padaku ??”
Di
tengah kegelisahanku, ternyata pintu kamarku berbunyi. Tok…tok..tok. Dengan
sehelai tisu, kuusap air mata yang sedikit menetes. “Iya sebentar” jawabku.
Dengan segera, kubuka pintu itu. Kulihat seorang lelaki dengan celana jeans model “pensil”, dengan kemeja
kotak-kotak, lengkap dengan sepatu kets,
seraya membawa bunga mawar merah di tangan kanannya. Kutatap dalam-dalam lelaki
tersebut. Berlinanglah air mataku. Semakin deras membasahi wajhku. “Oh Tuhan,
inikah jawaban atas cobaan-Mu ? Engkau memang dzat Yang Maha Sempurna.” Pujaku
dalam hati.
Ya,
lelaki itu adalah kekasihku yang sangat kurindukan. Aku pun terheran-heran
mengapa dia ada dihadapanku, padahal semalam dia mengabarkan bahwa dirinya kecelakaan.
Ternyata, semua yang dikatakannya tidak benar-benar terjadi. Itu semua adalah
sebagian kejutan darinya agar membuatku semakin perhatian dan semakin
merindukannya. Begitu pun dengan sengaja datang ke kosanku, tanpa
sepengetahuanku. Segera kucurahkan semua rasa rinduku yang sangat dalam. Ia pun
berlutut seraya memberikan bunga mawar yang di pegangnya. Sungguh tiada terkira
rasa cintaku kepadanya saat itu. Tak sedetikpun kulewatkan tanpa dirinya.
Mencairlah sudah semua perasaan yang menghantui hatiku selama ini.